Strategi Penanggulangan Kemiskinan Melalui Pendampingan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Propinsi Riau
Pendahuluan
Propinsi Riau secara geografis, geoekonomi dan geopolitik terletak pada jalur yang sangat strategis baik pada masa kini maupun pada masa yang akan datang, karena terletak pada jalur perdagangan Regional dan Internasional di kawasan ASEAN. Sebelum dimekarkan, propinsi ini mempunyai luas daratan 94.561,61 km2 (28,67 %) dan selebihnya 235.306 km2 (71,33 %) merupakan daerah lautan. Setelah terjadi pemekaranan wilayah, terhitung sejak tanggal 1 Juli 2004 lalu Propinsi Riau yang dulunya terdiri dari 16 kabupaten/kota sekarang hanya tinggal 11 kabupaten/kota.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan penduduk Riau relatif tinggi yaitu 3,79 % per tahun selama periode 1998-2002, lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan penduduk nasional sebesar 1,4 % per tahun pada periode yang sama. Penyebab tingginya pertumbuhan penduduk Riau disebabkan oleh tingginya migrasi dari daerah lain sebagai akibat perputaran roda perekonomian dan peluang lapangan kerja di Propinsi Riau. Berdasarkan data sensus tahun 2000 saja, jumlah penduduk yang bermigrasi ke Propinsi Riau mencapai 206.514 jiwa.
Kemudian dari hasil pendataan penduduk/keluarga miskin oleh BPS tahun 2004, diketahui bahwa persentase rumah tangga dan penduduk miskin di 11 kabupaten/kota masing-masing adalah 23,69 % dan 22,19 %. Dari jumlah tersebut, persentase yang relatif tinggi terdapat di tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Indragiri Hilir (31,95 %), Kabupaten Indragiri Hulu (31,44 %), dan Kabupaten Kuantan Singingi (27,45%). Sedangkan paling rendah di Kota Pekanbaru yang mencapai 10,91 % (lihat lampiran). Kegiatan pendataan ini dilaksanakan atas keinginan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan, kebodohan, serta ketertinggalan infrastruktur yang terjadi di Propinsi Riau.
Jumlah penduduk miskin tersebut pasti akan bertambah. Karena pada awal Oktober 2005 lalu, pemerintah menaikkan harga BBM (bahan bakar minyak) hampir 100 %. Kebijakan ini menyebabkan melambungnya harga barang dan jasa, yang berimplikasi pada penurunan daya beli masyarakat. Meskipun belum ada data pasti dari BPS yang menunjukkan jumlah penduduk miskin kembali meningkat, dari menurunnya daya beli masyarakat dan meningkatnya jumlah kepala keluarga miskin yang harus menerima bantuan hampir dua kali lipat, dapat dipastikan jumlah penduduk miskin bertambah.
Melihat data statistik di atas, sangat timpang bila dibandingkan dengan kekayaan sumberdaya alam yang ada. Sebab sudah bukan rahasia umum, Propinsi Riau terkenal dengan minyak bumi dan perkebunan kelapa sawitnya. Namun ternyata sumberdaya alam yang tersedia tersebut belum bisa menjamin kesejahteraan masyarakatnya. Hal ini disebabkan karena kebijakan pembangunan hanya terfokus kepada pertumbuhan dibandingkan pemerataan. Karena seperti disebutkan Nurske dalam Syafwannur (2004), ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yakni kemiskinan alamiah dan struktural. Kemiskinan alamiah terjadi antara lain akibat sumberdaya alam yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam. Sedangkan kemiskinan struktural terjadi karena lembaga-lembaga yang ada di masyarakat membuat sebagian anggota masyarakat tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia, hingga mereka tetap miskin.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengangkat topik masalah kemiskinan di Propinsi Riau ini melalui pendekatan komunikasi pembangunan. Melihat program penanggulangan kemiskinan yang selama ini dilakukan Pemerintah Propinsi Riau belum merata ke seluruh lapisan masyarakat, penulis mencoba menganalisis apa saja permasalahan yang terjadi. Kemudian penulis juga mencoba merumuskan bagaimana strategi penanggulangan kemiskinan agar efektif, efisien dan sampai ke masyarakat.
Penulisan paper ini adalah untuk mendapatkan informasi mengenai kemiskinan dan permasalahan penanggulangan kemiskinan di Propinsi Riau agar diperoleh strategi yang efektif dan efisien. Selain itu juga untuk memahami permasalahan-permasalahan kemiskinan yang menjadi realitas di tengah masyarakat Riau.
Program Penanggulangan Kemiskinan di Propinsi Riau
Di era otonomi daerah ini, kesenjangan tingkat kesejahteraan rakyat masing-masing daerah kabupaten/kota di Propinsi Riau sangat kentara. Kondisi tersebut sebenarnya tergantung besarnya potensi sumberdaya alam yang tersedia di setiap daerah. Meskipun demikian yang perlu mendapat perhatian bahwa 77 % lapangan usaha penduduk miskin Riau berada di sektor primer seperti pertanian, perkebunan, dan perikanan (lihat lampiran). Hal ini terjadi karena kebijakan pemerintah terhadap sektor primer belum menguntungkan rakyat, sehingga potensi yang ada belum bisa mengangkat kesejahteraan mereka.
Karena pengelolaan sumberdaya alam yang melimpah tersebut, bila tidak dilakukan dengan hati-hati dan lebih banyak dilakukan secara tidak bertanggung jawab oleh kelompok yang dekat dengan penguasa, akan semakin meminggirkan posisi rakyat. Pengelolaan sumberdaya alam yang ada seringkali tidak melibatkan masyarakat setempat sehingga menimbulkan eksklusivisme, dengan kesenjangan yang semakin menganga di segala bidang.
Dari sudut pandang ilmiah, menurut Indraningsih dan Khairina dalam Hermanto et al, (1995), meluasnya gejala kemiskinan di pedesaan tersebut menunjukkan bahwa tingkat kehidupan masyarakat pedesaan menuntut tekanan perhatian yang lebih besar. Munculnya gejala kemiskinan tadi disebabkan antara lain oleh daya dukung alam yang relatif kurang, prasarana sosial ekonomi yang belum merata, kelembagaan sosial ekonomi yang belum menjangkau masyarakat setempat serta mutu sumberdaya manusia yang relatif masih rendah. Dengan gambaran tersebut penanggulangan kemiskinan diperkirakan bukan saja memakan waktu yang relatif lama namun juga memerlukan strategi yang komprehensif. Dalam hal ini, pemerintah telah berupaya untuk mengentaskan kemiskinan yang ditunjukkan dengan adanya berbagai program maupun proyek penanggulangan kemiskinan yang bertujuan meningkatkan pendapatan masyarakat berpenghasilan rendah.
Di Propinsi Riau, penangulangan kemiskinan yang dilakukan Pemerintah Propinsi Riau adalah melalui program K2I (Kemiskinan, Kebodohan dan Inftrastruktur), yaitu peningkatan sumberdaya manusia melalui pendidikan, pengurangan masyarakat miskin dan perbaikan infrastruktur. Khusus untuk penanggulangan kemiskinan, pemerintah propinsi meluncurkan sejumlah program seperti bantuan Usaha Ekonomi Desa (UED-SP), pembangunan kebun rakyat, redistribusi asset melalui sertifikasi tanah rakyat, pembangunan rumah layak huni, pembangunan infrastruktur perdesaan dan lainnya melalui satuan kerja yang ada. Upaya tersebut dilakukan melalui kebijakan seperti indentifikasi potensi masyarakat miskin di Riau, membentuk komite penanggulangan kemiskinan tingkat propinsi, program otonomi desa dan seterusnya (Riau Online, 25 Desember 2005).
Kemudian untuk mempermudah identifikasi angka kemiskinan di setiap daerah di Riau, Badan Pengolahan Data Elektronik (BPDE) Kantor Gubernur Riau membuat situs http://203.130.192.197/~petamiskin/ . Situs tersebut berisi profil kemiskinan di setiap daerah di Riau yang sangat berguna bagi pihak yang memerlukan data kemiskinan di Riau. Data kemiskinan itu dapat diakses sampai tingkat kecamatan, karena data yang ditampilkan dalam situs ini merupakan yang paling lengkap. Berbagai indikator kemiskinan juga ditampilkan lengkap dengan jumlah dan persentase kemiskinan di masing-masing kabupaten/kota.
Informasi tentang profil kemiskinan tersebut sangat diperlukan oleh pengambil kebijakan terutama untuk penanganan masalah kemiskinan. Keterangan mengenai jenis persoalan dan akar permasalahan yang dihadapi berbagai jenis segmen penduduk miskin dapat membantu perencana program dalam menentukan program-program yang tepat. Dengan mengetahui profil kemiskinan, pengambil kebijakan bisa lebih memfokuskan pada program pengentasan kemiskinan sehingga dapat lebih sesuai dengan kebutuhan penduduk miskin tersebut.
Selain itu, untuk mendukung program K2I pemerintah juga mendirikan PT. PER (Permodalan Ekonomi Rakyat) sebagai langkah strategisnya menanggulangi kemiskinan. Kegiatan PT PER adalah pengucuran kredit lunak kepada masyarakat miskin terutama untuk kegiatan usaha kecil dan menengah (UKM). Melalui program ini bukan hanya kegiatan usaha nasabah saja yang berkembang dan pendapatannya mulai meningkat, tetapi ternyata pemberian kredit berdampak juga kepada pembukaan lapangan kerja dan penyerapan tenaga kerja.
Analisis Permasalahan Pelaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan di Propinsi Riau
Program K2I (Kemiskinan, Kebodohan dan Inftrastruktur) sebagai upaya penanggulangan kemiskinan telah dilaksanakan di Propinsi Riau. Namun yang menjadi permasalahan, berbagai program tersebut belum merata sampai ke seluruh lapisan masyarakat. Hal itu disebabkan karena kurangnya sosialisasi dan distribusi. Di samping itu ada indikasi bahwa program Badan Kesejahteraan Sosial (BKS) dan Badan Pemberdayaan dan Perlindungan Masyarakat (BPPM) Propinsi Riau juga belum mendukung program K2i dalam hal pengentasan kemiskinan. Karena program yang sudah terlaksana belum dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Terbukti angka kemiskinan di Riau setiap tahun justru terus bertambah. Padahal kedua lembaga ini menjadi pilar utama dalam menangani masalah kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat. Namun justru anggaran tahun 2006 menurun dari tahun sebelumnya. Padahal permasalahan sosial di Riau terus meningkat (Riauterkini, 16 Januari 2006).
Selama ini penulis menilai penanggulangan kemiskinan yang dilakukan kerap tidak tepat sasaran. Hal itu terjadi karena penanggulangan kemiskinan dilakukan dari atas. Sehingga banyak program yang belum diperlukan oleh masyarakat dilakukan pemerintah. Sedangkan yang benar-benar diperlukan masyarakat malah tidak diprogramkan. Hal ini terjadi karena yang pemerintah tidak mengetahui peta kemiskinan dan prioritas yang seharusnya dilaksanakan untuk masyarakat banyak. Kemudian secara garis besar penulis melihat permasalahan-permasalahan penanggulangan kemiskinan di Propinsi Riau adalah sebagai berikut:
1. Kurangnya koordinasi, yang meliputi koordinasi kebijakan dan program, perumusan standar (indikator kemiskinan, kriteria sukses, model-model penanggulangan kemiskinan), serta koordinasi dalam proses sosialisasi dan advokasi. Peran pemerintah haruslah difungsikan sebagai pihak yang mengkoordinasi dan mengkatalisasi serta memberikan dukungan terhadap fasilitator utama yaitu lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk mengatasi masalah-masalah dalam penanggulangan kemiskinan.
2. Upaya mengurangi kemiskinan di Propinsi Riau belum concern dan melibatkan semua stakeholder, yaitu dari kekuatan masyarakat, pemerintah dan kekuatan pasar dengan masyarakat lokal sebagai stakeholder utama dan secondary stakeholder adalah diluar masyarakat lokal tersebut bertugas untuk memfalisitasi agar masyarakat lokal dapat mampu keluar dari masalah kemiskinan. Untuk itu Pemerintah Propinsi Riau harus memfalisitasi hubungan dengan para donor dalam program anti kemiskinan, membangun partnership dan trust antara pelaku-pelaku utama penanggulangan kemiskinan, memfalisitasi partisipasi dunia usaha dalam penanggulangan kemiskinan, memfasilitasi proses alokasi anggaran, dan memfalisitasi proses penyusunan kebijaksanaan penanggulangan kemiskinan di setiap kabupaten/kota.
3. Lemahnya sosialisasi program, sehingga penanggulangan kemiskinan melalui program K2I belum dipahami secara seksama oleh masyarakat. Karena itu pendekatan baru dalam penanggulangan kemiskinan haruslah dilandasi oleh suatu premis bahwa kaum miskin merupakan aktor utama dalam perang melawan kemiskinan, karenanya upaya penanggulangan kemiskinan harus dimulai dari mendorong kesadaran kaum miskin untuk memperbaiki nasibnya (self-help) sehingga berbagai upaya dalam penanggulangan kemiskinan bersifat suplementer dan komplementer.
4. Masih lemahnya kontrol dan monitoring program. Untuk itu agar program penanggulangan kemiskinan dapat mencapai sasaran diperlukan partisipasi masyarakat, melalui lembaga-lembaga pendamping yang bisa mengawasi program tersebut. Hal ini penting dilakukan karena cakupan program penanggulangan kemiskinan yang cukup luas dengan jumlah sasaran mencapai 1.008.321 jiwa yang tersebar di 11 kabupaten/kota.
5. Sistem kelembagaan dan jajaran aparat birokrasi di lingkar pemerintahan Propinsi Riau dan Kabupaten/Kota yang belum siap menyelenggarakan program penanggulangan kemiskinan. Pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan yang berorientasi keproyekan dinilai kurang efektif dan efisien, rawan terhadap kebocoran serta tidak sustainable.
Strategi Penanggulangan Kemiskinan Melalui Pendampingan Lembaga Swadaya Masyarakat
Penanggulangan kemiskinan memerlukan strategi besar yang bersifat holistik dengan program yang saling mendukung satu dengan lainnya sehingga upaya pemahaman terhadap penyebab kemiskinan perlu dilakukan dengan baik. Adapun yang menjadi elemen utama dalam strategi besar tersebut adalah pendekatan people driven dimana rakyat akan menjadi aktor penting dalam setiap formulasi kebijakan dan pengambilan keputusan politis. Untuk mensukseskan hal itu diperlukan pelaksanaan perubahan paradigma yang meredefinisi peran pemerintah yang akan lebih memberi otonomi pada rakyat, adanya transformasi kelembagaan dari yang bersifat represif menjadi representatif, dan transparansi penyelenggaraan pemerintahan (Dillon, 2001).
Meskipun partisipasi masyarakat merupakan komponen penting dalam pengentasan kemiskinan. Namun, partisipasi masyarakat saja ternyata tidak cukup karena pengentasan kemiskinan bukan hanya tanggung jawab masyarakat, tapi juga tanggung jawab semua pihak, baik itu pemerintah, swasta, maupun pihak-pihak yang peduli terhadap pengentasan kemiskinan. Untuk itu, pengentasan kemiskinan butuh dukungan semua pihak. Selain itu, perlu adanya kesepakatan tentang tingkatan partisipasi masyarakat dalam program-program pengentasan kemiskinan. Hal ini untuk menghindari kembalinya masyarakat sebagai objek pembangunan. Sekaligus juga untuk memperkuat peran masyarakat dalam suatu program. Begitu pula dengan kelembagaan dalam bentuk wadah-wadah informal, seperti forum warga sangat dibutuhkan dalam melaksanakan pendekatan partisipatif. Upaya itu untuk memfasilitasi masyarakat miskin agar menyuarakan aspirasinya tanpa ada rasa takut. Kemudian, pentingnya sosialisasi dalam artian bukan hanya menyampaikan informasi, tapi memberikan pemahaman dan penyadaran kepada masyarakat sampai akhirnya mengerti dan mau terlibat. Bukan karena keterpaksaan tapi karena kemauan sendiri.
Untuk mewujudkan partisipasi masyarakat tersebut diperlukan tenaga pendamping lapangan. Tenaga pendamping lapangan ini biasanya dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebagai motivator dan fasilitator dalam pelaksanaan suatu program. Suparlan dalam Latief (1999) melihat banyak keuntungan dalam kerjasama antara LSM dengan pemerintah, yaitu antara lain (1) Pemerintah dapat menghemat pembiayaan untuk menangani masalah-masalah lokal yang bersifat mikro, (2) program-program pembangunan pemerintah yang selalu bersifat top-down, sehingga LSM dapat berfungsi sebagai perantara (mediator) untuk menyampaikan aspirasi-aspirasi dari ‘bawah’ dengan permasalahan mikro yang ada di tengah masyarakat. Dengan demikian selain masyarakat diuntungkan dengan penyampaian aspirasi dari bawah tersebut, juga berbagai dampak negatif dapat diidentifikasi oleh LSM dan ditanggulangi secara swadaya oleh masyarakat melalui kegiatan-kegiatan LSM.
Lalu bagaimana strategi penanggulangan tersebut diterapkan? Menurut Effendi (2004) strategi pada hakikatnya adalah perencanaan (planning) dan manajemen (management) untuk mencapai tujuan. Akan tetapi, untuk mencapai tujuan tersebut, strategi tidak berfungsi sebagai peta jalan yang hanya menunjukkan arah saja, melainkan harus mampu menunjukkan bagaimana taktik operasionalnya. Demikian pula dengan strategi komunikasi yang merupakan paduan perencanaan komunikasi (communication planning) dengan manajemen komunikasi (communication management) untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Strategi komunikasi ini harus mampu menunjukkan bagaimana operasionalnya secara praktis harus dilakukan, dalam arti kata bahwa pendekatan (approach) bisa berbeda sewaktu-waktu bergantung pada situasi dan kondisi.
Berdasarkan pendapat Effendi dan mengacu pada pemikiran Sarwono dalam Latief (1999), setidaknya penulis merumuskan tiga tahap yang perlu dilakukan oleh LSM dalam pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan di Propinsi Riau.
1. Tahap Pengenalan Masyarakat
Pada tahap ini, LSM harus datang ke tengah-tengah masyarakat miskin yang ada di Propinsi Riau. Pengenalan ini dilakukan dengan hati terbuka dan kemauan untuk mengenal masyarakat sebagaimana adanya, tanpa disertai prasangka dan sikap-sikap yang apriori lainnya. Hal ini dapat dilakukan baik melalui jalur formal (pemerintah) maupun informal seperti wawancara dengan tokoh-tokoh masyarakat setempat, seperti tokoh agama, tokoh adat, dan pemuka masyarakat.
2. Tahap Pengenalan Masalah
Pada tahap ini staf LSM dituntut untuk mempunyai suatu kemampuan yang memadai agar dapat mengenal masalah-masalah penyebab kemiskinan di tengah masyarakat serta mencari tahu kebutuhan-kebutuhan masyarakat untuk penanggulangan kemiskinan. Hal ini dapat dilakukan dengan terlibat langsung dalam kehidupan mereka sehari-hari, sehingga dapat menggali masalah-masalah yang memang ada di dalam masyarakat. Hal ini tentunya membutuhkan kesabaran yang tinggi dan waktu yang cukup lama, karena pada dasarnya sifat program penanggulangan kemiskinan merupakan program jangka panjang. Selanjutnya LSM bersama-sama dengan masyarakat yang didampinginya dapat menyusun skala prioritas (berdasarkan beratnya, cara mengatasinya, pentingnya dan jumlah masyarakat yang merasakan masalah tersebut) untuk menanggulanginya.
3. Tahap Penyadaran Masyarakat
Tujuan tahap ini adalah menyadarkan masyarakat akan keadaan dan kebutuhan-kebutuhan mereka, perlunya mereka ikut serta dalam memenuhi kebutuhan tersebut serta kesadaran akan potensi mereka untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dengan persiapan sosial yang baik diharapkan masyarakat mau berpartisipasi dalam setiap kegiatan secara aktif. Partisipasi ini dapat terjadi bila ada rasa saling mempercayai antara staf LSM dengan masyarakat, ada ajakan atau kesempatan untuk ikut serta sejak awal perencanaan kegiatan, ada manfaat yang dirasakan dan ada contoh dari pimpinan atau tokoh masyarakat.
Tentunya agar komunikasi tersebut berjalan efektif perlu diperhatikan adanya pemimpin pendapat (opinion leader). Karena keberadaan opinion leader ini penting sekali terutama dalam pengambilan keputusan dari sekian banyak ide yang melibatkan banyak individu. Berkaitan dengan itu Arifin (1994) membagi opinion leader menjadi dua: (1) Formal leader (pemimpin resmi), yaitu orang yang mempunyai fungsi dalam masyarakat karena diangkat secara resmi seperti para pejabat pamongpraja, kepala desa, camat, bupati, guru, dosen, dan sebagainya. (2) Informal leader (pemimpin tidak resmi), yaitu orang-orang yang terkemuka dalam masyarakat dan tidak diangkat secara resmi, tetapi cukup berpengaruh terhadap masyarakat di sekitarnya
Penutup
Dari analisis permasalahan dan pembahasan di atas penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Propinsi Riau terkenal dengan minyak bumi dan perkebunan kelapa sawitnya. Namun ternyata sumberdaya alam yang tersedia tersebut belum bisa menjamin kesejahteraan masyarakatnya, sehingga masih terdapat banyak masyarakat miskin.
2. Penangulangan kemiskinan yang dilakukan Pemerintah Propinsi Riau adalah melalui program K2I (Kemiskinan, Kebodohan dan Inftrastruktur), yaitu peningkatan sumberdaya manusia melalui pendidikan, pengurangan masyarakat miskin dan perbaikan infrastruktur.
3. Yang menjadi permasalahan dalam penanggulangan kemiskinan di Propinsi Riau, berbagai program tersebut belum merata sampai ke seluruh lapisan masyarakat. Hal itu disebabkan karena kurangnya koordinasi, sosialisasi dan distribusi.
4. Penanggulangan kemiskinan memerlukan strategi besar yang bersifat holistik dengan program yang saling mendukung satu dengan lainnya sehingga upaya pemahaman terhadap penyebab kemiskinan perlu dilakukan dengan baik. Untuk mewujudkan partisipasi masyarakat tersebut diperlukan tenaga pendamping lapangan. Tenaga pendamping lapangan ini biasanya dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebagai motivator dan fasilitator dalam pelaksanaan suatu program.
Melihat kesimpulan tersebut penulis menyarankan agar Pemerintah Propinsi Riau memperbaiki kinerjanya dalam penanggulangan kemiskinan, dengan melibatkan partisipasi donor, lembaga pendamping, dan masyarakat sasaran. Sehingga untuk ke depan program-program tersebut manfaatnya secara nyata dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat di semua kabupaten/kota.
Daftar Pustaka
Arifin, Anwar. 1994. Strategi Komunikasi. Sebuah Pengantar Ringkas. Cetakan Ketiga. Penerbit Armico, Bandung.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2004. Pendataan Penduduk/Keluarga Miskin Provinsi Riau 2004. http://riau.bps.go.id/contents/kerjaan/miskin2004.html
Dillon, HS. 2001. Paradigma Ekonomi yang Pro Kaum Miskin dan Pro Keadilan: Belajar dari Kesalahan Masa Lalu. http://www.infid.be/infidforum2001
Effendy, Onong Uchjana. 2001. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Cetakan 14. Remaja Rosdakarya,
Hermanto et al Ed.. 1995. Prosiding Pengembangan Hasil Penelitian. Kemiskinan di Pedesaan: Masalah dan Alternatif Penanggulangannya. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Balitbang Pertanian.
Latief, Andi Gunawan. 1999. Peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Wilayah Pesisir dan Lautan yang Berbasis Masyarakat di Pulau Barrang Caddi
Riauterkini. Senin, 16 Januari 2006. Program BKS dan BPPM Riau tak Dukung Program K2i. http://www.riauterkini.com
Riau Online. Minggu, 25 Desember 2005. Pemrov Tetap Fokus Pada K2I. http://www.riau.go.id
Syafwannur, Edi. 2004. Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Kecamatan Tempuling Kabupaten Indragiri Hilir. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian